Jumat, 20 Juli 2012

HARUSKAH DENGAN RUKYAT GLOBAL?




Allah Swt. berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
 “... Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir pada bulan itu hendaklah ia shaum, dan barang siapa sakit atau dalam sapar, maka (wajib ia shaum) beberapa (hari yang ditinggalkan) itu pada hari-hari yang lain...”  (QS. Al-Baqarah, 2:185)

Kata syahida berarti ada ditempat sendiri atau tidak sedang safar. Karena ternyata ayat itu bersambung   dengan kalimat “barang siapa sakit atau dalam safar”. Dengan keterangan ini akan muncul satu pertanyaan, apakah dengan terlihat hilal di suatu tempat menjadi ukuran bagi seluruh tempat di dunia ini? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu kita perhatikan hadis berikut ini.

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 “Dari Kuraib, sesungguhnya Ummul Fadhl mengutusnya kepada Mu’awiyah di Syam. Ia berkata, ‘Aku tiba di Syam dan aku selesaikan keperluannya (Ummul Fadhl) dan jelas bagiku hilal bulan Ramadhan pada waktu aku di syam, yaitu aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke Madinah pada akhir bulan. Kemudian Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu ia menerangkan hilal, maka ia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal itu?’ Aku menjawab, ‘Kami melihat hilal itu pada malam Jum’at’. Ia bertanya lagi, ‘Apakah engkau betul-betul melihatnya?’ Aku menjawab benar, ‘benar’ dan orang-orang pun melihatnya dan mereka shaum dan Mu’awiyah pun shaum.’ Kemudian ia berkata, ‘Tapi kami melihat hilal itu pada malam sabtu, karena itu kami terus-menerus shaum sampai kami menyempurnakan tiga puluh hari. atau kami melihatnya’ Aku bertanya, ‘Apakah tidak cukup dengan rukyat Mu’awiyah dan shaumnya.’ Ia menjawab, ‘Tidak, demikianlah Rasulullah saw. memerintah kami.” - H.R. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari dan Ibnu Majah –

Keterangan:
Hadis di atas oleh Imam Muslim (Shahih Muslim, V:367) ditempatkan dalam Kitabus Shaum
بَاب بَيَانِ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ وَأَنَّهُمْ إِذَا رَأَوْا الْهِلَالَ بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ
Hadis di atas oleh Imam Abu Daud (Sunan Abi Daud, VI:270) ditempatkan dalam Kitabus Shaum
بَاب إِذَا رُئِيَ الْهِلَالُ فِي بَلَدٍ قَبْلَ الْآخَرِينَ بِلَيْلَةٍ
Hadis di atas oleh Imam at-Tirmidzi (Sunan at-Tirmidzi, III:122) ditempatkan dalam Kitabus Shaum
بَاب مَا جَاءَ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ رُؤْيَتُهُمْ
Hadis di atas oleh Imam an-Nasai (Sunan Nasai, VII:263) ditempatkan dalam Kitabus Shaum
اخْتِلَافُ أَهْلِ الْآفَاقِ فِي الرُّؤْيَةِ

Hadis di atas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas tidak mengamalkan rukyat ahli Syam. Dan di akhir hadisnya ia mengatakan, “Demikianlah Rasulullah saw. memerintah kami”, Kalimat terakhir ini menjadi dalil bahwa Ibnu Abbas mengetahui betul dari Rasulullah saw. bahwa beliau tidak mengharuskan penduduk suatu negeri untuk mengamalkan rukyat penduduk negeri yang lain.
Karena itu hadis tersebut dikategorikan sebagai hadis marfu’ hukman, yaitu kedudukannya sama dengan hadis Rasulullah saw. yang harus dijadikan hujjah, karena perbuatan itu merupakan pelaksanaan atas perintah Rasulullah saw., dan bukan merupakan ijtihad Ibnu Abbas sebagaimana yang dituduhkan oleh sementara kalangan.

Dengan demikian, ketentuan waktu ibadah bagi suatu negeri berdasarkan rukyatnya masing-masing, karena terdapat perbedaan mathla’, dan tidak perlu mengikuti negeri yang lain. Umpamanya di Indonesia dinyatakan tidak terlihat hilal sedangkan di Mekah dinyatakan terlihat hilal pada saat matahari terbenam, maka jatuhnya tanggal akan berbeda. Buat Indonesia, pada hari esoknya akan menjadi hari terakhir dari bulan yang sedang berjalan, sedangkan untuk Mekkah hari esoknya akan menjadi tanggal 1 awal bulan baru, seperti yang terjadi pada bulan Syawwal 1417 H. Buat Mekkah tanggal 1 Syawwal jatuh pada hari Selasa 8 April 1997 M, sedangkan buat Indonesia jatuh pada hari Rabu 9 April 1997 M.

Hal ini bisa terjadi karena pada hari Senin tanggal 29 Ramadhan bertepatan dengan tanggal 7 April 1997 M, pada saat matahari terbenam (maghrib) hilal Syawwal belum muncul di Indonesia. Karena itu, bulan Ramadhan genap 30 hari (hari terakhir selasa 8 April) dan idul fitri 1 Syawwal 1417 H jatuh pada hari Rabu 9 April 1997 M. Sementara di Mekkah, karena hilal Syawwal sudah muncul saat matahari terbenam (maghrib) pada hari Senin tanggal 29 Ramadhan bertepatan dengan tanggal 7 April 1997 M, maka 1 Syawwal 1417 H jatuh pada hari selasa 8 April 1997 M.

Almarhum Ustadz Abdurrahman mengutip dari kitab Ahkamul Quran, hal. 85: “Bila orang Aghmat sebuah tempat di Maroko melihat hilal pada malam Jum’at. kemudian di Asbilia (Spanyol) melihat hilal pada malam Sabtu, maka bagi penduduk setiap negeri berdasarkan rukyatnya masing-masing karena terdapat perbedaan matla’.”

Jadi, bila Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adhha terjadi perbedaan hari antara Indonesia dengan negara lain, maka hal ini tidak menyalahi syariah, karena begitulah perintah Rasulullah. Justru termasuk menyalahi syariah bila harus mengikuti negeri yang lain, seperti ke negara Arab Saudi.

Perbedaan Mathla' (Tempat Muncul Hilal)

Hadits Shumuu liru’yatihi (Shaumlah karena melihat hilal) menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru'yah hilal (melihat bulan sabit pertama), dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin (di seluruh kawasan dan negeri) bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu.

Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits d iatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas di atas. Dalam hadits Kuraib di atas dan hadits-hadits lainnya para ulama bersilang pendapat.Perbedaan ini ini disebutkan dalam Fathul Bari, juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama:
Setiap negeri mempunyai ru'yah atau mathla' (tempat kemunculan hilal). Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas Ra. dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi'i.

Pendapat Kedua:
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma' telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru'yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (propinsi di Iran) dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang di suatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa.
Sebagian pengikut madzhab Syafi'i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua:
  1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka.
  2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal inidikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi'i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat:
Dengan perbedaan mathla'. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
Dengan jarak meng-qashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi'i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
Dengan perbedaan iklim. Pendapat As-Sarkhasi: "Keharusan ru'yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal."

Pendapat Ibnul Majisyun: "Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain..." Berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya. Imam Syaukani menambahkan: "Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah."

Hujjah pendapat di atas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru'yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits, "Demikian Rasulullah Saw. menyuruh kami." Ibnu Abbas menghapal dari Rasulullah Saw. bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru'yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla' (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Saw., "Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya." Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru'yah itu berlaku bagi mereka semuanya." (Fiqhus Sunah, juz 1, hal. 368)

As-Shan'ani rahimahullah berkata, "Makna ucapan "karena melihatnya" yaitu apabila ru'yah didapati di antara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru'yah pada suatu negeri adalah ru'yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib." (Subulus Salam, juz 2, hal. 310)
Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru'yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri (Nailul Authar, juz 4, hal. 195)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Orang-orang yang menyatakan bahwa ru'yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi'i, di antaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla' seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha'if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal.... Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya'ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim." (Majmu' Fatawa, juz 25, hal. 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata, "Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu "karena melihat hilal dan berbuka (iedul fithri) karena hilal" (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa di antara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru'yah itu untuk semuanya ..." (Ar-Raudhah An-Nadiyah, juz 1, hal. 146)

Hemat kami, pendapat-pendapat di atas bertentangan dengan keterangan Ibnu Abas yang lebih memahami maksud hadis-hadis Shumuu liru’yatihi itu, sebagaimana diajarkan oleh Rasul kepadanya. Hal itu tampak jelas dengan perkataan, “Demikianlah Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada kami”.

Sumber: Ustadz Amin Saefullah Muchtar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar